Selasa, 25 Desember 2012

Konsep Akhlak Dalam Perspektif Islam

Konsep Akhlak Dalam Perspektif Islam

Saat ini manusia sukses meraih prestasi besar di segala bidang dengan bantuan sains dan teknologi. Masyarakat dunia menyaksikan berbagai inovasi dan penemuan baru di sejumlah bidang termasuk antariksa, teknologi modern, bioteknologi, nano teknologi, kedokteran, dan agraria. Akan tetapi di samping berita-berita yang menyenangkan ini, manusia setiap harinya juga mendengar berita yang memilukan terkait peningkatan angka kriminalitas dan kejahatan, kecanduan narkoba, penyiksaan anak-anak, homoseksual, dan kejadian-kejadian lain yang mengguncang dunia. Ruh dan jiwa setiap manusia berakal akan tersiksa mendengar kabar-kabar buruk tersebut.

Tentu saja, peristiwa-peristiwa itu tidak hanya berhubungan dengan abad modern, namun dimana saja manusia melupakan Tuhan dan ajaran-ajaran langit, mereka akan terjerumus ke dalam dekadensi moral dan terlibat berbagai tindak kejahatan. Socrates termasuk salah satu pemikir yang memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut dan ia terlibat aktif untuk memperbaiki kultur dan akhlak masyarakat. Plato juga meyakini reformasi akhlak masyarakat harus menjadi prioritas semua pihak. Menurutnya, realitas kehidupan manusia dibangun atas dasar perilaku dan kaidah-kaidah khusus yang bersifat mutlak dan akhlak adalah contoh nyata dari realitas absolut dan mutlak.

Ajaran-ajaran murni para nabi as seperti, Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa as juga menekankan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai akhlak. Mereka mendorong masyarakat untuk menghiasi diri dengan nilai-nilai moral dan menganggapnya sebagai pijakan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah Saw sebagai penghulu para nabi juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

Tema ilmu akhlak sejak dulu menjadi fokus pembahasan dan kajian para ilmuwan. Mayoritas ilmuwan menganggap kebahagiaan manusia sebagai hasil dari akhlak yang baik dan sifat-sifat mulia. Menurut mereka, akhlak akan menyempurnakan dan meninggikan dimensi meterial dan spiritual masyarakat, sebab pendidikan akhlak akan mengembangkan potensi-potensi manusia pada arah yang benar dan selaras dengan fitrah kemanusiaan. Ilmu akhlak sendiri telah diulas dari berbagai sudut pandang dan beberapa ilmuwan menilai akhlak bersifat mutlak dan sebagian lain memandangnya bersifat relatif.

Mereka yang menganggap akhlak bersifat relatif biasanya melihat manusia hanya sebagai wujud materi. Menurut keyakinan mereka, akhlak dan nilai-nilai moral sama sekali tidak memiliki realitas serta bersifat subjektif dan sementara. Dalam pandangan kelompok ini, akhlak adalah suatu keadaan yang diperoleh dari bentuk pendidikan dalam diri manusia. Mereka mengatakan setiap individu tidak sama dari segi fitrah dan karakter manusia juga berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka juga tidak bersikap sama dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Dengan kata lain, kebohongan dan kezaliman tidak baik dan tidak buruk.

Konsep baik dan buruk akan diukur dari penerimaan atau penolakan mayoritas anggota masyarakat. Sebagai contoh, dalam pandangan para pendukung teori relatifitas akhlak, homoseksual tidak bisa dikategorikan buruk secara mutlak, sebab mungkin saja perilaku itu diterima oleh sejumlah besar masyarakat dan mereka memandang orientasi tersebut bukan tindakan amoral. Sementara fitrah suci dan akal sehat manusia mencela perbuatan yang tidak lazim itu dan melanggar norma-norma. Seluruh utusan Tuhan juga mencela perilaku menyimpang tersebut.

Menurut beberapa pihak lain, akhlak bukan instrumen untuk mencapai tujuan. Pada prinsipnya, baik dan buruk bagi mereka tidak memiliki definisi baku. Dalam pandangan kelompok ini, masyarakat senantiasa berubah dan dinamis serta bentuk lahiriyah mereka juga selalu mengalami perubahan. Oleh sebab itu, parameter untuk mengukur akhlak baik dan buruk juga bersifat dinamis dengan memperhatikan opini publik. Pada dasarnya, prinsip-prinsip moral mengikuti dan selaras dengan kondisi masyarakat. Dengan kata lain, ketika masyarakat menerima sesuatu, maka baik dan buruk perbuatan akan hilang dan ini disebut relatifitas akhlak.

Dalam perspektif Islam, akhlak adalah bukan sesuatu yang bersifat relatif, tapi memiliki dasar-dasar dan parameter khusus dan nilai-nilai moral juga termasuk bagian dari ajaran agama yang bersifat tetap. Jelas bahwa kebaikan, keadilan, kejujuran, dan amanah memiliki nilai-nilai luhur dalam agama Ilahi. Sebaliknya, kezaliman, penindasan, kikir, dengki, dan kebohongan semuanya dikategorikan buruk. Baik itu diterima oleh mayoritas masyarakat atau pun tidak. Kebanyakan manusia – baik itu orang jujur atau orang jahat – membenci pengkhianatan dan label pengkhianat yang disematkan kepada seseorang tentu saja tidak menyenangkan.

Namun tentu saja ada pengecualian untuk kondisi tertentu. Sebagai contoh, seorang yang teraniaya bersembunyi di satu tempat dan seorang penindas mencarinya untuk menghabisinya. Jika sang penindas itu bertanya kepada Anda tentang tempat persembunyian orang tertindas tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan berkata jujur kepadanya atau tidak? Dalam kasus ini, semua sepakat bahwa kita harus berbohong demi menyelamatkan sang tertindas. Sesuatu yang telah melahirkan kebobongan di sini adalah perbuatan baik dan diterima oleh semua orang. Kejujuran di sini justru akan mengancam keselamatan seseorang, sementara menyelamatkan manusia tak berdosa sangat mulia.   

Akhlak dalam Islam bersandar pada ruh suci yang diciptakan oleh Tuhan. Sang Penguasa telah menciptakan manusia dengan fitrah yang sama. Karakteristik ini merupakan argumen terbaik untuk membuktikan bahwa landasan-landasan moral bersifat mutlak dan permanen. Manusia secara alamiah memuji sifat-sifat seperti pengorbanan, kejujuran, amanah, keberanian, dan keadilan. Sebaliknya, mereka mencela kebodohan, kebohongan, dan pengkhianatan.

Dalam agama Islam, berbohong termasuk dosa besar. Namun, perbuatan itu diperbolehkan ketika menyangkut masalah keselamatan atau harga diri seseorang. Hukum universal Islam memberi pengecualian rasional untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, aksi kekerasan dan menciptakan penderitaan bagi manusia termasuk tindak kriminal dan kejahatan yang bisa diproses secara hukum. Akan tetapi, hukum universal itu dapat berubah pada kondisi tertentu.

Ketika seorang dokter bedah demi menyelamatkan nyawa pasien, membuka perutnya dengan pisau untuk mengangkat kanker atau membedah dada pasien untuk memperbaiki otot-otot jantungnya. Di sini, kasusnya sudah berbeda dan tindakan itu tidak dianggap sebagai kriminal dan kejahatan. Namun, pengecualian dalam hukum Islam tidak boleh dianggap sebagai masalah relatifitas landasan-landasan hukum dan akhlak.

Dapat disimpulkan bahwa Islam dan parameter akal menolak masalah relatifitas akhlak. Dengan kata lain, pembahasan relatifitas dalam masalah akhlak sama dengan menafikan akhlak itu sendiri, sebab menurut teori relatifitas akhlak, jika keburukan telah menguasai masyarakat, maka itu juga akan dianggap keutamaan. Menurut pandangan mereka, penyakit sosial dan penyimpangan-penyimpangan moral akan dipandang sebagai kelaziman dan benar jika itu diterima oleh mayoritas masyarakat. Padahal, akhlak adalah sebuah sarana untuk meluruskan perbuatan masyarakat dan bukan instrumen untuk menyebarluaskan kerusakan dan kemungkaran. (IRIB Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar