Selasa, 25 Desember 2012

Konsep Akhlak Dalam Perspektif Islam

Konsep Akhlak Dalam Perspektif Islam

Saat ini manusia sukses meraih prestasi besar di segala bidang dengan bantuan sains dan teknologi. Masyarakat dunia menyaksikan berbagai inovasi dan penemuan baru di sejumlah bidang termasuk antariksa, teknologi modern, bioteknologi, nano teknologi, kedokteran, dan agraria. Akan tetapi di samping berita-berita yang menyenangkan ini, manusia setiap harinya juga mendengar berita yang memilukan terkait peningkatan angka kriminalitas dan kejahatan, kecanduan narkoba, penyiksaan anak-anak, homoseksual, dan kejadian-kejadian lain yang mengguncang dunia. Ruh dan jiwa setiap manusia berakal akan tersiksa mendengar kabar-kabar buruk tersebut.

Tentu saja, peristiwa-peristiwa itu tidak hanya berhubungan dengan abad modern, namun dimana saja manusia melupakan Tuhan dan ajaran-ajaran langit, mereka akan terjerumus ke dalam dekadensi moral dan terlibat berbagai tindak kejahatan. Socrates termasuk salah satu pemikir yang memberi perhatian khusus terhadap masalah tersebut dan ia terlibat aktif untuk memperbaiki kultur dan akhlak masyarakat. Plato juga meyakini reformasi akhlak masyarakat harus menjadi prioritas semua pihak. Menurutnya, realitas kehidupan manusia dibangun atas dasar perilaku dan kaidah-kaidah khusus yang bersifat mutlak dan akhlak adalah contoh nyata dari realitas absolut dan mutlak.

Ajaran-ajaran murni para nabi as seperti, Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa as juga menekankan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai akhlak. Mereka mendorong masyarakat untuk menghiasi diri dengan nilai-nilai moral dan menganggapnya sebagai pijakan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah Saw sebagai penghulu para nabi juga diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia dan bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

Tema ilmu akhlak sejak dulu menjadi fokus pembahasan dan kajian para ilmuwan. Mayoritas ilmuwan menganggap kebahagiaan manusia sebagai hasil dari akhlak yang baik dan sifat-sifat mulia. Menurut mereka, akhlak akan menyempurnakan dan meninggikan dimensi meterial dan spiritual masyarakat, sebab pendidikan akhlak akan mengembangkan potensi-potensi manusia pada arah yang benar dan selaras dengan fitrah kemanusiaan. Ilmu akhlak sendiri telah diulas dari berbagai sudut pandang dan beberapa ilmuwan menilai akhlak bersifat mutlak dan sebagian lain memandangnya bersifat relatif.

Mereka yang menganggap akhlak bersifat relatif biasanya melihat manusia hanya sebagai wujud materi. Menurut keyakinan mereka, akhlak dan nilai-nilai moral sama sekali tidak memiliki realitas serta bersifat subjektif dan sementara. Dalam pandangan kelompok ini, akhlak adalah suatu keadaan yang diperoleh dari bentuk pendidikan dalam diri manusia. Mereka mengatakan setiap individu tidak sama dari segi fitrah dan karakter manusia juga berbeda-beda. Oleh karena itu, mereka juga tidak bersikap sama dalam mengidentifikasi kebaikan dan keburukan. Dengan kata lain, kebohongan dan kezaliman tidak baik dan tidak buruk.

Konsep baik dan buruk akan diukur dari penerimaan atau penolakan mayoritas anggota masyarakat. Sebagai contoh, dalam pandangan para pendukung teori relatifitas akhlak, homoseksual tidak bisa dikategorikan buruk secara mutlak, sebab mungkin saja perilaku itu diterima oleh sejumlah besar masyarakat dan mereka memandang orientasi tersebut bukan tindakan amoral. Sementara fitrah suci dan akal sehat manusia mencela perbuatan yang tidak lazim itu dan melanggar norma-norma. Seluruh utusan Tuhan juga mencela perilaku menyimpang tersebut.

Menurut beberapa pihak lain, akhlak bukan instrumen untuk mencapai tujuan. Pada prinsipnya, baik dan buruk bagi mereka tidak memiliki definisi baku. Dalam pandangan kelompok ini, masyarakat senantiasa berubah dan dinamis serta bentuk lahiriyah mereka juga selalu mengalami perubahan. Oleh sebab itu, parameter untuk mengukur akhlak baik dan buruk juga bersifat dinamis dengan memperhatikan opini publik. Pada dasarnya, prinsip-prinsip moral mengikuti dan selaras dengan kondisi masyarakat. Dengan kata lain, ketika masyarakat menerima sesuatu, maka baik dan buruk perbuatan akan hilang dan ini disebut relatifitas akhlak.

Dalam perspektif Islam, akhlak adalah bukan sesuatu yang bersifat relatif, tapi memiliki dasar-dasar dan parameter khusus dan nilai-nilai moral juga termasuk bagian dari ajaran agama yang bersifat tetap. Jelas bahwa kebaikan, keadilan, kejujuran, dan amanah memiliki nilai-nilai luhur dalam agama Ilahi. Sebaliknya, kezaliman, penindasan, kikir, dengki, dan kebohongan semuanya dikategorikan buruk. Baik itu diterima oleh mayoritas masyarakat atau pun tidak. Kebanyakan manusia – baik itu orang jujur atau orang jahat – membenci pengkhianatan dan label pengkhianat yang disematkan kepada seseorang tentu saja tidak menyenangkan.

Namun tentu saja ada pengecualian untuk kondisi tertentu. Sebagai contoh, seorang yang teraniaya bersembunyi di satu tempat dan seorang penindas mencarinya untuk menghabisinya. Jika sang penindas itu bertanya kepada Anda tentang tempat persembunyian orang tertindas tersebut, apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan berkata jujur kepadanya atau tidak? Dalam kasus ini, semua sepakat bahwa kita harus berbohong demi menyelamatkan sang tertindas. Sesuatu yang telah melahirkan kebobongan di sini adalah perbuatan baik dan diterima oleh semua orang. Kejujuran di sini justru akan mengancam keselamatan seseorang, sementara menyelamatkan manusia tak berdosa sangat mulia.   

Akhlak dalam Islam bersandar pada ruh suci yang diciptakan oleh Tuhan. Sang Penguasa telah menciptakan manusia dengan fitrah yang sama. Karakteristik ini merupakan argumen terbaik untuk membuktikan bahwa landasan-landasan moral bersifat mutlak dan permanen. Manusia secara alamiah memuji sifat-sifat seperti pengorbanan, kejujuran, amanah, keberanian, dan keadilan. Sebaliknya, mereka mencela kebodohan, kebohongan, dan pengkhianatan.

Dalam agama Islam, berbohong termasuk dosa besar. Namun, perbuatan itu diperbolehkan ketika menyangkut masalah keselamatan atau harga diri seseorang. Hukum universal Islam memberi pengecualian rasional untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, aksi kekerasan dan menciptakan penderitaan bagi manusia termasuk tindak kriminal dan kejahatan yang bisa diproses secara hukum. Akan tetapi, hukum universal itu dapat berubah pada kondisi tertentu.

Ketika seorang dokter bedah demi menyelamatkan nyawa pasien, membuka perutnya dengan pisau untuk mengangkat kanker atau membedah dada pasien untuk memperbaiki otot-otot jantungnya. Di sini, kasusnya sudah berbeda dan tindakan itu tidak dianggap sebagai kriminal dan kejahatan. Namun, pengecualian dalam hukum Islam tidak boleh dianggap sebagai masalah relatifitas landasan-landasan hukum dan akhlak.

Dapat disimpulkan bahwa Islam dan parameter akal menolak masalah relatifitas akhlak. Dengan kata lain, pembahasan relatifitas dalam masalah akhlak sama dengan menafikan akhlak itu sendiri, sebab menurut teori relatifitas akhlak, jika keburukan telah menguasai masyarakat, maka itu juga akan dianggap keutamaan. Menurut pandangan mereka, penyakit sosial dan penyimpangan-penyimpangan moral akan dipandang sebagai kelaziman dan benar jika itu diterima oleh mayoritas masyarakat. Padahal, akhlak adalah sebuah sarana untuk meluruskan perbuatan masyarakat dan bukan instrumen untuk menyebarluaskan kerusakan dan kemungkaran. (IRIB Indonesia)

Selasa, 11 Desember 2012

Membicarakan Dosa

Membicarakan Dosa 

Membicarakan dosa memiliki dua model; membicarakan dengan diri sendiri dan membicarakan dengan orang lain.


Model pertama; membicarakan dengan diri sendiri dengan kata lain adalah mengakui dosa. Hal ini terjadi antara pelaku dosa dengan Allah. Mengakui dosa di hadapan Allah merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan.

Adapun model yang kedua yakni membicarakan dengan orang lain merupakan sebuah penyakit dunia lisan. Karena membicarakan dosa dengan orang lain selain akan menyebabkan jatuhnya harga diri pembicara juga menyebabkan tersebarnya keburukan.

Imam Ridha as berkata, "Orang yang menutupi dosa sama seperti mengerjakan kebaikan sebanyak tujuh puluh kali sementara orang yang membongkar dosa akan terhina dan orang yang menutupi dosa akan terampuni dosanya. (‘Uyun Akhbar ar- Ridha, jilid 2, hal 412).

Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat menganjurkan agar meninggalkan orang yang datang untuk membuka aibnya yang ditutupi oleh Allah.

 

Rabu, 05 Desember 2012

Kisah Khalifah Umar r.a dan Sa'ad Abi Waqqas r.a

Kisah Khalifah Umar r.a dan Sa'ad Abi Waqqas r.a

Umar al-Khattab telah melantik Sa'ad Abi Waqqas r.a seorang sahabat besar Nabi s.a.w sebagai gabenor di Kufah, Iraq. Namun terdapat beberapa kumpulan munafiq yang amat benci kepada Sa'ad, lalu membuat aduan palsu kononnya Sa'ad r.a tidak adil dalam pembahagian dan tidak memimpin ketika peperangan. Sedangkan di ketika itu, kerajaan Islam sedang sibuk membuat persiapan untuk menuju ke Nahawand. Amat difahami kumpulan ini ingin mengganggu kelancaran perancngan kerajaan Islam.

Walaupun aduan ini sememangnya telah diketahui palsu oleh Umar Al-Khattab r.a tetapi beliau masih meraikannya secara SERTA MERTA dengan menghantar wakil penyiasat iaitu Muhammad Ibn Maslamah. Umar r.a seorang yang amat sensitif dan serius dengan segala laporan terhadap gabenor lantikannya. Tatkala proses siasatan terbuka dijalankan, semua wakil ketua yang berada di Kufah tidak tahu menahu berkenaan laporan ketidakladilan Sa'ad lalu semuanya mengkhabarkan kebaikan Sa'ad.

Tiba-tiba muncul Usamah Bin Qatadah mendakwa Sa'ad tidak  adil dan tidak memimpin perang. Sa'ad menafikan dengan sumpah serta mendoakan buta mata, kurang zuriat dan terdedah kepada fitnah dunia bagi sesiapa yang menipu dan melontarkan fitnah ke atasnya. Hasil doa individu soleh seperti Sa'ad, kesemua kumpulan yang meinpu ini mati . Usamah pula menjadi buta, kurang zuriat dan ditimpa nafsu syahwat yang luar biasa.

Walaupun Sa'ad terbukti selepas itu tidak bersalah, demi mengelakkan perpecahan dan menjaga status Sa'ad bin Abi Qaqqas, Umar al-Khattab meminta Sa'ad untuk menamakan penggantinya, lalu dilantik ‘Abdullah bin Abdullah Bin ‘Utban yang merupakan timbalan kepada Sa'ad sebelum ini. Manakala Sa'ad di bawa ke Madinah bagi menyertai ahli Majlis Syura Khalifah di Madinah.

Selasa, 04 Desember 2012

Membicarakan Aib Diri

Membicarakan Aib Diri

Membicarakan kelemahan dan kekurangan itu tidak perlu kecuali pada kondisi darurat.

Amirul Mukminin Ali as berkata, "Radhiya Bidz Dzulli, Man Kasyafa Dharrahu Lighairihi."

"Seseorang rela dengan keterhinaan, ketika ia membuka aibnya sendiri."(Ghurar al-Hikam, hal 422)

Imam Shadiq as berkata:

إِنَّ اللّه  فَوَّضَ إِلَى المُؤمِنِ اُمورَهُ كُلَّها وَلَم يُفَوِّض إِلَيهِ أَن يَكونَ ذَليلاً أَما تَسمَعُ اللّه  تَعالى يَقولُ: (وَ لِلّهِ العِزَّةُ وَلِرَسولِهِ وَلِلمُؤمِنينَ)؟ فَالمُؤمِنُ يَكونُ عَزيزا وَلا يَكونُ ذَليلاً
قالَ: إِنَّ المُؤمِنَ أَعَزُّ مِنَ الجَبَلِ لأَنَّ الجَبَلَ يُستَقَلُّ مِنهُ بِالمَعاوِلِ وَالمُؤمِنُ لايُستَقَلُّ مِن دينِهِ بِشَىْ ءٍ؛

"Sesungguhnya Allah Swt telah menyerahkan segala urusan kepada orang-orang Mukmin, tapi satu hal yang tidak diberikan; kehinaan. Apakah kalian tidak mendengar bahwa Allah Swt berfirman, "Kemuliaan hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin". Oleh karenanya, seorang mukmin mulia dan tidak hina."

Imam Shadiq melanjutkan, "Seorang mukmin lebih kokoh dari gunung. Karena gunung akan berkurang bila terkena benda tajam, tapi tidak ada alat yang mampu mengurangi agama seorang mukmin."

 

Sabtu, 10 November 2012

Gema Persatuan Umat Islam Dunia dari Makassar

Gema Persatuan Umat Islam Dunia dari Makassar

Ketika rajutan kebhinekaan terkoyak akibat ulah segelintir kalangan yang memaksakan tafsir tunggal atas ajaran agama, muncul seruan persatuan yang mengalir dari jantung Indonesia Timur. Senin, 5 November 2012 menjadi saksi perhelatan penting dunia Islam yang digelar di Universitas Islam terkemuka di Makassar. Sebuah seminar Internasional "Persatuan Umat Islam" diselenggarakan atas kerjasama Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dengan Kedutaan Republik Islam Iran untuk Indonesia.
              
Momentum yang ditunggu-tunggu umat Islam Indonesia ini menghadirkan perwakilan dari ormas Islam, dewan ulama, dan pemerintah serta akademisi dalam dan luar negeri. Seminar Internasional berlangsung di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI, dan dibuka langsung oleh wakil Menteri Agama RI, Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, MA.

Dua tokoh ormas Islam terbesar di Tanah Air, NU dan Muhammadiyah bersama-sama meneguhkan komitmen Indonesia dalam menjaga persatuan umat Islam dunia dari berbagai rongrongan. Prof. Din Syamsuddin hadir berdampingan sebagai pembicara bersama KH Hasyim Muzadi. Selain itu, hadir pula sebagai panelis Ketua MUI Pusat Prof. Umar Shihab dan Prof. Muhammad Ghalib, selaku Koordinator kopertais VIII.

Keseriusan mengusung persatuan umat Islam dalam seminar ini ditampilkan dengan menghadirkan para pembicara dari luar negeri. Partisipasi aktif Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Dr. Mahmoud Farazandeh, Grand Ayatollah Muhammad Ali Taskhiri selaku Ketua Lembaga Pendekatan antar Madzhab Islam, Republik Islam Iran, Sheikh Molawi Ishaq Madani sebagai penasehat presiden Iran untuk urusan Ahlussunnah, dan Dr. Mazaheri, Wakil rektor Universitas Terbuka Iran, menunjukkan komitmen kolektif menjaga persatuan Islam dunia. Namun, amat disayangkan Arab Saudi tidak mengirimkan wakilnya, meski sudah dijadwalkan hadir dalam seminar persatuan umat Islam dunia itu.

Dalam sambutannya, Wakil Menteri Agama mengapresiasi upaya konstruktif Duta Besar Republik Islam Iran dan ulama besarnya atas kesediaan mereka berbagi ilmu kepada Umat Islam Indonesia. "Seminar ini menambah khazanah keilmuan dan keislaman kita khususnya di Sulawesi selatan ini," tutur pendiri Masyarakat Dialog antar Umat Beragama itu.

Bagi Nasaruddin, konsep keumatan dalam Islam merupakan refleksi dari konsep cinta kasih antar sesama. Mengutip Rasulullah Saw, profesor studi Islam UIN ini menilai konsep Ummah (umat) sebagai komunitas yang paling komplit dan mulia dalam Islam, karena tidak lagi mengagungkan adanya diskriminasi dan pengkotak-kotakan dalam masyarakat.

"Sebagaimana konsep al-Quran ‘Walaqad Karramnaa Banii Adam' yang bermakna bahwa yang harus dimuliakan dalam Islam itu adalah semua anak cucu Adam, tanpa memandang Suku, jenis kelamin, golongan strata sosial bahkan agama, semuanya harus dimuliakan sebagai manusia ciptaan Allah swt," ungkap penulis sekitar 12 buku keislaman ini.

Nasruddin dalam pidatonya optimis Indonesia sebagai negara muslim terbesar akan memimpin dunia Islam. Bagi Nasruddin, jazirah Hijaz telah selesai melahirkan Islam, kini giliran Indonesia yang akan memimpin dunia Islam. Tapi, semuanya itu hanya bisa terwujud ketika umat Islam Indonesia serius menggalang persatuan.

"Tanpa persatuan, umat Islam Indonesia hanya akan tersekat-sekat dalam ruang sempit mazhab atau kabilah," ucapnya.

Optimisme itu bergema kembali disuarakan Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin. Cendekiawan muslim ini menjelaskan besarnya potensi kaum muslimin, terutama di Indonesia. "Kita punya SDM (Sumberdaya Manusia), SDA (Sumberdaya Alam) maupun SDN (Sumberdaya Nilai) dan SDS (Sumberdaya Sejarah)," kata Ketua Umum Muhammadiyah.

"Sumber daya itu harus digunakan untuk menguatkan konsep ‘Kalimatun Sawa' dalam menghadapi ‘Aduwun Sawa'," tegas pria kelahiran Sumbawa itu.

Tokoh NU, KH. Hasyim Muzadi menegaskan pentingnya persatuan Islam dalam mewujudkan kamajuan dan kejayaan umat. Kiai berusia 68 tahun ini memandang politik adu domba yang dilancarkan dunia Barat untuk menjegal kemajuan dan kejayaan kaum muslimin. "Semua itu, hanya bisa dilawan dengan persatuan umat sebagai landasan gerakan Islam yang rahmatan lil alamin," tambahnya.

Mengamini pentingnya persatuan umat bagi bangsa Indonesia dan dunia, Rektor UMI Prof. Masrurah Mokhtar, MA pada pidato sambutannya menggarisbawahi urgensi perumusan etika dalam berbeda pendapat, supaya umat Islam dapat meningkatkan tali persaudaraan, toleransi dan tidak mudah diadudomba. Sedangkan, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Dr. Mahmoud Faranzadeh dalam statemennya menekankan pentingnya persatuan umat Islam sebagai benteng menjaga keamanan, kesejahteraan dan kemajuan umat Islam dunia. 

Sementara itu, Sheikh Molawi Ishaq Madani menyebutkan persatuan sebagai kunci kemenangan umat Islam. "Persatuan sangat penting. Tanpa persatuan, umat Islam mudah diadudomba. Perselisihan dan pertengkaran di antara kaum muslimin tidak akan menghasilkan kemenangan bagi madzhab yang bertikai, dan sebaliknya justru kekalahan bagi agama Islam," kata penasehat Presiden Iran urusan Ahlusunnah.

Terkait peran dunia Barat dalam menyulut friksi di tubuh umat Islam, Ayatollah Muhammad Ali Taskhiri menyatakan bahwa dunia Barat berupaya mengoyak-oyak persatuan umat Islam dunia hingga akhirnya menjadi negara-negara kecil, terbelakang dan memisahkan agama dari kehidupan kaum muslimin. "Barat mengimplementasikannya dalam bentuk Kolonialisme,"ungkap Ketua Lembaga Pendekatan Antarmazhab Islam itu.

Namun, tutur ulama senior Iran ini, pasca perang dunia kedua, terjadi berbagai peristiwa penting yang menyebabkan Kolonialisme Barat menemui tantangan berat. "Peristiwa pertama adalah pembakaran masjid Quds yang menstimulasi lahirnya konferensi solidaritas kaum muslimin. Kemudian lahirlah Revolusi Islam di Iran, " tambahnya.

Pada tahun 1979, Revolusi Islam Iran yang digagas oleh Imam Khomeini berhasil menumbangkan hegemoni Barat. Menurut ulama sepuh ini, revolusi berbasis agama itu menjadi antitesis Kolonialisme Barat terhadap dunia Islam.

"Ketika Barat menginginkan umat Islam tercabik-cabik, Revolusi Islam tampil menyerukan persatuan umat. Ketika Barat membiarkan umat Islam terbelakang, Revolusi Islam menyerukan dukungan umat terhadap kemajuan dunia Islam dalam segala bidang kehidupan. Dan ketika Barat memisahkan Islam dari kehidupan kaum muslimin, Revolusi Islam justru menawarkan mengisi kehidupan masyarakat muslim dengan nilai-nilai Islam," ujar ulama Iran itu.

Acara ini diakhiri dengan pembacaan rekomendasi yang berisi tujuh poin penting persatuan umat Islam dunia. Pertama, meningkatkan kesadaran umat Islam untuk terus membangun dan menjaga persaudaraan sebagai sesama umat Islam dengan menampilkan Islam yang damai dan penuh kasih sayang. Kedua, tidak menjadikan perbedaan mazhab sebagai kendala dalam menjalin ukhuwah islamiah dan kerjasama dalam berbagai kegiatan keduniaan dan keagamaan. Ketiga, mendukung sosialisasi Deklarasi Amman (9/11/2004) yang dideklarasikan bersama oleh 200 ulama dari lebih 50 negara, yang menegaskan bahwa mazhab Syiah (Ja'fari dan Zaidi) sebagai bagian dari Islam.

Keempat, umat Islam Indonesia  dari berbagai mazhab bisa menjadi role model bagi umat Islam dunia dengan hidup berdampingan dalam ikatan persaudaraan yang kuat. Kelima, ormas dan lembaga-lembaga keislaman serta para da'i, muballig dan cendekiawan muslim mengambil peran aktif untuk selalu mengupayakan kokohnya persaudaraan Islam, dan menghindari dakwah yang berakibat lemahnya ukhuwah Islamiyah. Keenam, pemerintah Indonesia diharapkan ikut menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya persaudaraan antarpenganut berbagai mazhab Islam dan persaudaraan di antara sesama pemeluk agama. Ketujuh, perbedaan (ikhtilaf) di kalangan umat Islam harus disikapi dengan mendahulukan etika dan akhlaqul karimah demi kemaslahatan umat.

Seminar berjalan lancar, meskipun di luar gedung ada segelintir pihak yang memaksakan sikapnya menolak persatuan Islam. Akan tetapi kesiapan panitia dan tim keamanan dari TNI-Polri dalam komando Wakil Rektor III UMI berhasil menghalau gerombolan anti kebhinekaan itu.(IRIB Indonesia/Khusnul Yaqin/Purkon Hidayat)

Jumat, 09 November 2012

Abu Hanifah Belajar Kepada Muhammad bin Muslim, Murid Imam Shadiq as

Abu Hanifah Belajar Kepada Muhammad bin Muslim, Murid Imam Shadiq as

Tempat Imam Shadiq as mengajarkan ilmu-ilmunya merupakan satu dari pusat pendidikan dunia Islam yang paling banyak menghasilkan ilmuan. Pusat pendidikan Imam Shadiq as berhasil menelurkan ilmuan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Islam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Karena jarang kita menemukan sebuah pusat keilmuan Islam yang menghasilkan banyak ilmuan dalam banyak bidang keilmuan. Setiap orang yang lulus dari pusat pendidikan ini menjadi ahli di bidangnya masing-masing. Ini merupakan ciri khas pendidikan yang diterapkan Imam Shadiq as.


Satu dari parameter penting mereka pernah menimba ilmu kepada beliau adalah sifat kecendekiaan dan keutamaan akhlak. Karena ciri khas penting para pengikutnya adalah belajar kepada Imam dan beliau memandang semua Syiah adalah orang-orang yang senantiasa belajar. (al-Kafi, 1/33, bab Ashnaf an-Naas)



Salah seorang sahabat Imam Shadiq as yang terkenal adalah Muhammad bin Muslim. Ia dikenal sebagai tokoh yang zuhud, abid dan mengetahui masanya. Kebanyakan faqih Ahli Sunnah dapat menyelesaikan masalah keilmuannya lewat bantuan Muhammad bin Muslim. Mereka memanfaatkan ilmunya yang didapat lewat belajar kepada Imam Baqir as.



Muhammad bin Muslim bercerita:



Suatu malam aku tidur di atas atap rumah. Tiba-tiba terdengar ada orang yang mengetuk pintu. Saya terbangun dan berkata, "Siapa?"



Seseorang berteriak, "Turunlah, saya membutuhkanmu."



Saya kemudian turun dari atap rumah. Ketika membuka pintu, saya melihat seorang perempuan.



Dengan tergesa-gesa ia menjelaskan, "Saya punya menantu perempuan yang meninggal dunia saat melahirkan, tapi kelihatannya anaknya masih hidup dan kini ada dalam perutnya. Kami merasakan gerakannya. Apa yang harus kami lakukan?"



Saya menjawab, "Suatu hari ada yang menanyakan pertanyaan seperti ini kepada Imam Baqir as. Beliau menjawab, ‘Perut ibunya harus dioperasi dan bila sudah terbuka, anaknya dikeluarkan dari dalam perut ibunya'."



Setelah menjawab, saya bertanya kepada ibu itu, "Saya selama ini hidup dengan cara sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang tahu tempat tinggal saya. Bagaimana bisa Anda menemukan rumahku?"



Ia menjawab, "Sebelum ke rumahmu, saya terlebih dahulu mendatangi Abu Hanifah dan menanyakan masalah yang saya hadapi. Tapi ia mengatakan tidak tahu jawabannya. Kemudian ia menyuruh saya mendatangi rumah Muhammad bin Muslim. Karena ia pasti tahu jawaban dari masalah yang engkau hadapi. Tapi ada syaratnya. Bila engkau telah diberitahu jawabannya, jangan lupa memberitahu aku juga jawaban itu."



Muhammad bin Muslim mengatakan bahwa perempuan itu kemudian pergi.



Keesokan harinya, saya pergi ke masjid. Ketika memasukinya, saya melihat Abu Hanifah sedang dikelilingi oleh banyak orang. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah yang terjadi semalam. Saya kemudian terbatuk. Ketika mendengar suara saya, Abu Hanifah dengan perlahan-lahan, agar orang lain tidak tahu, berkata kepada saya, "Allahummaghfir D'anaa Na'iisy" (Allahumma, semoga Allah mengampuni! Tinggalkanlah kami dengan kehidupan kami). (Ikhtishash, hal 203-204, Rijal al-Kissyi, hal 146, Wasail al-Syiah, 12/614) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

 

Senin, 15 Oktober 2012

Semerbak Harum Mahdi as (Bagian keempatbelas)

Semerbak Harum Mahdi as (Bagian kelimabelas)

Waktu berlalu perlahan-lahan.
Dalam setiap nafas yang terhembus, para penanti berkata, "Ya Allah, saat ini dunia membutuhkan sang juru selamat, maka percepatlah kemunculannya.
Jika ia datang, air mata anak-anak pengungsi akan berubah menjadi kembang senyuman dan menenangkan hati-hati yang cemas.
Ya Allah, kami jadikan kasih sayangnya sebagai jaminan dalam diri kami hingga saat kasih sayangnnya mengantarkan kami ke gerbang pintu kebahagiaan.
Ketika ia muncul, kami pun bersemi dalam musim semi kehadirannya."
Dalam beberapa dekade terakhir, masalah akhir masa semakin marak dibahas dan banyak para cendikiawan Barat dan Timur yang mengemukakan pendapat mereka tentang hal ini. Dalam literatur agama-agama besar dunia, akhir zaman berarti periode akhir kehidupan umat manusia. Masing-masing nabi Allah menunjukkan kepada umatnya tentang tanda-tanda akhir masa.
Beberapa ayat dalam kita Injil Matthew disebutkan, "Akan terdengar kabar dari medan perang. Tentang serangan sebuah bangsa terhadap bangsa lain dan sebuah pemerintahan terhadap yang lain. Akan tetapi kekeringan, muncul wabah yang mematikan, dan terjadi gempa di banyak tempat. Dunia yang penuh dengan kekerasan, sama seperti di masa Nuh, seperti inilah saat kemunculan putra manusia. Setelah musibah besar(perang) mereka akan menyaksikan putra manusia muncul dari balik awan dengan penuh kebesaran."
Ajaran Islam juga menunjukkan bahwa pada masa sebelum kemunculan sang juru selamat dunia, Imam Mahdi as, kondisi dunia mengalami carut-marut. Masyarakat yang secara lahiriyah tampak hidup menjalani kehidupan mereka. Namun karena tidak memiliki etika, iman, dan spiritualitas, masyarakat meluncur di jalur demoralisasi. Dalam berbagai ajaran agama, ditunjukkan tanda-tanda tentang kondisi di akhir masa ini. Termasuk di antaranya adalah kesulitan yang dihadapi umat manusia untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Musuh menggunakan berbagai macam cara intelektual, budaya, maupun kepercayaan untuk mencegah hidayah umat manusia serta perjalannya dalam menggapai kebahagiaan.
Munculnya penyimpangan kepercayaan merupakan salah satu di antara fakta yang paling berbahaya sebelum era akhir zaman. Manusia-manusia pemuja materi menjauhkan umat manusia dari jalan hidayah dan menjerumuskan mereka ke jurang penyimpangan. Hal ini menimbulkan perpecahan dalam barisan persatuan bangsa-bangsa. Pada saat yang sama, kekuasaan berada di tangan orang-orang durjana. Dalam hal ini, Imam Jakfar Sadiq as mengatakan: "Imam Mahdi as tidak akan bangkit kecuali pada saat munculnya ketakutan besar, serta berbagai penderitaan dan fitnah yang dihadapi manusia, dan terjadi perpecahan yang mendalam dalam masyarakat dan dalam agama."
Salah satu masalah umat manusia pada era sebelum kemunculan Imam Mahdi as adalah peningkatan kecenderungan manusia terhadap masalah duniawi dan hedonisme. Sampai pada tahap sehingga umat manusia terpisahkan dari nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan akhlak. Muncul berbagai bidah, masyarakat cenderung mengikuti hawa nafsu mereka, dan orang-orang mukmin terhina, adapun para orang-orang fasid dimuliakan. Imam Shadiq as menyinggung penyimpangan agama dan ditinggalkannya al-Quran pada masa tersebut.
Dalam riwayat disebutkan bahwa pada akhir zaman nanti, raja-raja despotik dan zalim membantai umat manusia serta menakut-nakuti orang-orang yang taat kepada Allah swt. Pada masa itu, harta dan kekayaan dipuja-puja dan dijadikan sebagai nilai keunggulan seseorang. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, "Di akhir masa, sebuah bangsa akan berkuasa terhadap umat Islam. Jika umat Islam berbicara, maka mereka akan dibunuh, dan jika bungkam maka darah mereka mubah. Dengan demikian mereka dapat menguasai sumber pendapatan dan kekayaan umat Islam."
Sejumlah ulama berpendapat bahwa tanda-tanda akhir zaman yang disebutkan dalam riwayat berkaitan dengan semakin dekatnya masa kemunculan Imam Mahdi as. Meski demikian, penjelasan tanda-tanda itu bertujuan agar umat manusia dapat mengambil pelajaran dan mengetahui tugas-tugas mereka di setiap masa, sehingga mereka dapat mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi as.
Dengan kata lain, dalam mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi as, harus digembleng insan-insan saleh dan bersih hingga kemunculan Imam Mahdi as. Perluasan kefasadan dan ketidakadilan, merupakan halangan utama dalam meningkatkan kedewasaan pemikiran umat manusia dan dalam menerima hidayah sang juru selamat. Oleh sebab itu, pada era sebelum kemunculan Imam Mahdi as, bersamaan dengan meluasnya kezaliman dan diskriminasi, masyarakat juga harus meningkatkan kedewasaan pemikiran di hadapan ketimpangan. (IRIB)