Sabtu, 06 Oktober 2012

Catherine: Perlu Waktu Teman Pria di Kampus Memahami Saya Seorang Muslimah

Catherine: Perlu Waktu Teman Pria di Kampus Memahami Saya Seorang Muslimah 

Catherine Heseltine adalah seorang guru TK berusia 31 tahun. Wanita muda Inggris ini yang tinggal di Utara London telah memeluk agama Islam.

Jika anda bertanya saya ketika saya berusia 16 tahun adakah saya ingin masuk Islam, saya akan menjawab, "Tidak, terima kasih. "Saya senang minum-minum, berfoya-foya dengan teman-teman."

"Dibesarkan di utara London, kami tidak pernah mengamalkan agama di rumah. Saya menganggap agama adalah sesuatu yang kuno dan tidak sesuai dengan zaman. Tetapi ketika saya bertemu dengan suami saya, Syed, di sekolah tinggi, ia menantang segala pandangan saya." Ia masih muda, muslim, percaya ada Tuhan tetapi dia normal. Yang berbeda adalah ia tidak seperti anak-anak muda lain. Ia tidak pernah minum minuman keras.

Setahun kemudian, kami benar-benar saling menyintai. Kami segera sadar, bagaimana mungkin kami dapat bersama jika dia muslim dan saya tidak?

Sebelum menemui Syed, saya tidak pernah bertanya dengan apa yang saya yakini. Saya pun mula membaca beberapa buku tentang Islam karena rasa ingin tahu.

Pada mulannya, al-Quran menarik minat saya dari sudut intelektualnya, sementara sisi emosional dan spiritualnya datang kemudian. Saya senang sekali dengan penjelasan al-Quran tentang dunia dan apa yang lebih menarik ia telah ada sejak 1500 tahun lalu. Islam memberi hak-hak kepada wanita yang tidak dimiliki di sini, di Barat, yang baru memberikan hak itu baru-baru ini. Ia merupakan wahyu.

Agama bukanlah sesuatu yang ‘cool' untuk diucapkan. Selama tiga tahun saya menyimpan minat saya pada Islam dalam diri saya sendiri. Tetapi pada tahun pertama di universitas, Syed dan saya mengambil keputusan untuk menikah. Sudah sampai masanya untuk saya memberitahu kedua orang tua saya mengenai masalah ini.

Reaksi pertama ibu saya ialah "tidak dapatkah kalian tinggal bersama terlebih dulu?" Ia bimbang dengan keputusan saya untuk segera menikah dan dan berperan sebagai wanita Islam dalam rumah tangga, tidak ada siapapun yang tahu bahwa saya benar-benar serius untuk memeluk Islam.

Saya masih ingat ketika kami keluar makan malam dengan ayah saya, ia berkata: "Minumlah minuman keras itu, saya tidak akan memberitahu Syed!". Banyak yang menyangka bahwa saya memeluk Islam sekadar untuk membuat keluarga suami saya merasa gembira, bukan karena saya meyakininya.

Pada tahun tersebut, kami mengadakan majlis perkawinan ala Bengali secara besar-besaran, kami berdua berpindah ke sebuah rumah apartemen, tetapi saya tidaklah dirantai di dapur. Malah saya tidak mengenakan hijab pun pada mulanya dan hanya mengenakan topi dan ikat kepala.

Saya terbiasa mendapat perhatian dari teman lelaki saat saya berada di kelab-kelab hiburan dan bar, tetapi saya telah meninggalkan semuanya. Saya perlahan-lahan mengadopsikan cara berpikir Islam. Saya ingin orang menilai saya karena kebijaksanaan dan perilaku saya bukan sekadar lahiriah saya.

Saya tidak pernah menjadi bagian dari minoritas agama sebelum ini, maka ia merupakan sebuah perubahan besar, tetapi rekan-rekan saya menerima saya. Sebagian dari mereka agak terkejut, "Apa? Tidak boleh minum-minum, tidak ada narkotika dan tidak ada lelaki?" "Kami tidak bisa melakukannya!!"

Perlu beberapa waktu untuk rekan-rekan pria saya di universitas untuk ingat bahwa mereka tidak boleh mencium pipi saya ketika memberi salam ‘hello' seperti dulu. Saya terpaksa menjelaskan kepada mereka, "Maaf, ini dilarang dalam agama Islam".

Masa berjalan, saya menjadi bertambah religius dari suami saya. Kami perlahan-lahan menjauhkan diri. Selepas tujuh tahun bersama, kami akhirnya mengambil keputusan untuk bercerai.

Ketika saya pindah ke rumah orang tua, mereka terkejut melihat saya masih mengenakan kerudung ketika keluar rumah. Bagaimanapun, setelah berpisah dengan suami, keimanan saya menjadi lebih kuat. Saya mula merasakan diri saya sebagai seorang muslim, tidak lagi bergantung kepada suami saya.

Islam memberikan saya arah dan tujuan. Saya melibatkan diri dengan komite urusan publik muslim dan memimpin kampanye menentang Islamphobia, diskriminasi terhadap wanita di masjid, kemiskinan dan situasi di Palestina.

Ketika orang memanggil kami ekstrimis atau bagian gelap politik Inggris, saya pikir ini sesuatu yang tidak masuk akal. Terdapat banyak masalah dalam masyarakat Islam, tetapi ketika orang mengetahui bahwa  mereka berada dalam keadaan terhimpit, maka menjadi sulit untuk mencapai kemajuan.

Saya masih merasakan diri saya sebagai bagian dari warga kulit putih Inggris, tetapi saya juga seorang muslim. Ini perlu waktu untuk saya dapat menyesuaikan diri, tetapi sekarang saya merasa lebih yakin dan percaya diri. Saya adalah bagian dari dua dunia tersebut dan tidak ada siapapun yang bisa mengambilnya dari saya. (IRIB Indonesia / Rohama.org)

0 komentar:

Posting Komentar